Awal kemunculan “Dzikrul Ghofilin” bermula sejak tahun
1960, yang digagas oleh tiga kiai yakni, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamim Jazuli
(Gus Miek), dan Kiai Achmad Shiddiq. Tiga kiai tersebut sudah dikenal oleh
banyak kalangan khususnya dikalangan warga NU. Kiai Hamid Pasuruan dikenal
sebagai kiai yang memiliki kemampuan spiritual tinggi. Selain dikenal mempunyai
kemampuan spritualitas yang tinggi, Mbah Hamid juga dikenal oleh masyarakat
sebagai seorang waliyullah, kekasih Allah yang sampai saat ini pesareannya
setiap hari dipenuhi oleh para peziarah. Kiai Hamim Jazuli atau yang panggilan
akrabnya (Gus Miek), adalah sosok kiai yang nyentrik dan kontroversial. Namun
meskipun dikenal sebagai sosok kiai yang nyeleneh, nyentrik, dan kontroversial
ia mendapat pengakuan dari beberapa kiai khos seperti, Kiai Abdul Madjid, Kiai
Mubasyir Mundzir, Kiai Abdullah Umar Kediri, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hamid
Kajoran. Gus Miek mempunyai keistimewaan yang tinggi, dan kemampuan
supranatural. Kemampuan supranatural Gus Miek itu dalam istilah orang pesantren
disebut “khariqul adat”, kejadian-kejadian aneh yang sulit dijangkau oleh akal
manusia. Kiai Achmad Shiddiq adalah kiai yang dikenal sebagai perumus
Pancasila, dan peletak dasar khittah NU 1926 yang diputuskan di Situbondo.
Gagasan dan ide-ide segarnya tentang pembaharuan NU banyak bermunculan darinya,
juga kekonsistenannya mengabdi pada NU dan bangsa Indonesia tidak pernah diragukan.
Di tahun 1972 Kiai Achmad Shiddiq menjadi pengikut pemula Gus Miek, dan
berdakwah bersamanya melalui Dzikrul Ghofilin. Jadi munculnya berdirinya
Dzikrul Ghofilin itu tidak terlepas dari tiga kiai, yakni Kiai Hamid Pasuruan,
Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek), dan Kiai Achmad Shiddiq. Sehingga tidak
berlebihan kiranya jika muncul istilah “tritunggal”, sebuah istilah yang
masyhur dikalangan pengikut Gus Miek.
Adapun penggagas utamanya sekaligus penulis teks Dzikrul
Ghofilin adalah Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek). Beliau banyak mencurahkan
perhatian dan tenaga sepenuhnya demi memperjuangkan Dzikrul Ghofilin. Di
Surabaya, Gus Miek memulai kegiatan Dzikrul Ghofilin yang hanya diikuti oleh
beberapa orang hingga menjadi belasan orang jama’ah. Tempat kegiatannnya
berpindah-pindah dari jama’ah yang satu ke jamaa’ah yang lainnya. Sebelum acara
Dzikrul Ghofilin dimulai, Gus Miek mengajak jama’ahnya terlebih dahulu
berkumpul di makam Sunan Ampel, dengan membaca Al - Fatihah 500 kali, baru
kemudian berangkat ke rumah yang menerima giliran acara Dzikrul Ghofilin. Kiai Maftuh Basthul Birri menilai bahwa amalan
dalam Dzikrul Ghofilin seperti al-Fatihah, shalawat, tahlil, dan lain
sebagainya adalah amalan yang biasa dilakukan oleh umat Islam sejak dulu. Dan
amalan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran akidah ahlussunnah waljama’ah
yang dalil dan rujukannya sangat jelas dalam al-Qur’an dan hadits.
Inti ajaran Dzikrul Ghofilin adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT
dengan cara berdzikir. Menurut Gus Miek, fadhilah utama Dzikrul
Ghofilin adalah murni tujuan akhirat, murni kebahagiaan di akhirat, dan
biasanya orang yang benar-benar menata akhiratnya urusan duniawinya juga akan
ikut tertata. Dengan demikian, cara termudah menurut Gus Miek adalah dengan
mencintai para kekasih Allah dan orang-orang yang shaleh. Jika kita mencintai
auliya’ kekasih Allah, dan sholihin orang-orang shaleh, maka besok kita akan
dikumpulkan bersama mereka. Amiiin Ya
Rabbal ‘Alamin.
No comments:
Post a Comment