Saturday, 2 November 2019

Sejarah Ratib al Haddad

Ratib al Haddad diambil dari nama penyusunnya, yakni al Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad al Haddad (1055-1132 H.). Dari beberapa doa-doa dan dzikir-dzikir yang beliau susun, Ratib al Haddad inilah yang paling terkenal dan masyhur. Ratib al Haddad disusun berdasarkan inspirasi, pada malam lailatul Qodar 27 Ramadan 1071 H.

Ratib al Haddad disusun untuk memenuhi permintaan seorang murid beliau bernama Amir dari keluarga Bani Sa’ad yang tinggal di Syibam, salah satu perkampungan di Hadramaut, Yaman. Tujuan Amir meminta Habib Abdullah untuk mengarang Ratib, Agar diadakan suatu wirid dan dzikir di kampungnya, agar mereka dapat mempertahankan dan menyelamatkann diri dari ajaran sesat yang sedang melanda Hadramaut ketika itu.

Pertama-tama, Ratib ini hanya dibaca di kampung Amir sendir,i yaitu Kota Syibam setelah mendapat izin dan ijazah dari al Habib Abdullah bin Alwi al Haddad sendiri. Selepas itu, Ratib ini pun dibaca di Masjid al Hawi milik beliau yang berada di kota Tarim. Biasanya Ratib ini dibaca secara berjamaah setelah shalat ‘isya’.

Pada bulan Ramadan, ratib ini dibaca sebelum shalat Isya untuk mengisi kesempitan waktu menunaikan shalat Tarawih. Ini adalah waktu yang telah ditentukan oleh al Habib Abdullah bin Alwi al Haddad untuk daerah-daerah yang mengamalkan Ratib ini. Biidznillah, daerah-daerah yang mengamalkan ratib ini selamat dan tidak terpengaruh dari kesesatan tersebut.

Setelah al Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad berangkat menunaikan ibadah Haji, Ratib al Haddad mulai dibaca di Mekkah dan Madinah. Al Habib Ahmad bin Zain al Habsyi berkata, “Barang siapa yang membaca Ratib al Haddad dengan penuh keyakinan dan iman, ia akan mendapat sesuatu yang di luar dugaannya”.

Setiap ayat, doa, dan nama Allah yang disebutkan di dalam ratib ini diambil dari bacaan Al Quran dan Hadis Rasul SAW. bilangan bacaan di setiap doa dibuat sebanyak tiga kali, karena itu adalah bilangan ganjil (witir). Semua ini berdasarkan arahan dari al Habib Abdullah bin Alwi al Haddad sendiri.

Ijazah Ratib al Haddad yang didapatkan Penulis

Penulis mendapatkan ijazah bacaan Ratib al Haddad ini dari 6 mujiz (pemberi ijazah). Yaitu:

Habib Ali bin Husain al Haddad Surabaya generasi ke 7 shahiburratib.

Habib Ahmad bin Husain Aidid Hadramaut Yaman

Habib Muhammad al Jufri Jombang

Habib Muhammad as-Seggaf Solo

Habib Alwi al Haddad Peterongan Jombang, asli Hadramaut yang wafat dalam usia lebih dari 90 tahun beberapa hari lalu, dan penulis diwasiati untuk menyebarkan ratib ini

Kiai Ahmad Muntaha, Pengasuh Pondok Pesantren Gedongsari Nganjuk

Kegunaan Ratib al Haddad

Penulis pernah sowan ke Dalem Habib Ali bin Husain al Haddad di Surabaya. Sebelum wafat, beliau setiap tahun rutin memberi ijazah di Pondok Pesantren Langitan pada momen Haul Masyayikh Langitan. Waktu itu, beliau merupakan generasi terdekat di seluruh dunia dengan shahiburratib.

Beliau menceritakan bahwa ratib ini selain wirid rutin turun temurun dari shahiburratib sampai ke beliau sebagai generasi ke-7 juga merupakan ijazah yang langsung diberikan oleh sang kakek shahiburratib al Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad al Haddad melalui mimpi.

Habib Ali juga menceritakan bahwa pada zaman Jepang, pada bulan Ramadan, kiai dan habaib akan ditangkap penjajah Jepang. Namun, berkat rayuan Bung Karno, rencana itu ditunda setelah Ramadan. Dalam kesempatan itu, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari memerintahkan kepada seluruh mushalla dan masjid di seluruh wilayah Surabaya untuk mengamalkan ratib bakda Maghrib atau bakda Isya. Dengan berakahnya Ratib al Haddad ini, Jepang pun dijatuhi nuklir Amerika.

Ratib ini juga bisa diamalkan untuk meminta kepada Allah agar dikabulkan segala hajatnya. Selain itu Ratib al Haddad ini juga bisa dipakai untuk mengusir jin dengan segala gangguan-gangguannya. Sebenarnya banyak sekali khasiat dan kegunaan Ratib al Haddad ini. Namun, tidak bisa disebutkan di sini semuanya. Insya Allah akan diulas oleh penulis pada kesempatan berikutnya

Oleh: Ustadz Arif Khuzaini*



Friday, 1 November 2019

Ahli Ibadah Yang Tertipu


Dalam kitabnya, Al-Kasf wa Al-Tibyan fi Ghurur al-Khalq Ajma'in (Menyingkap Aspek-aspek Ketertipuan Seluruh Makhluk), al-Imam al-Ghazali menyebut golongan berikutnya yg tertipu adalah golongan ahli ibadah. Mereka tertipu karena shalatnya, bacaan Alqurannya, hajinya, jihadnya, kezuhudannya, amal ibadah sunahnya, dan lain sebagainya.

Dalam kelompok ini, lanjut al-Ghazali, terdapat pula mereka yg terlalu berlebih-lebihan dalam hal ibadah hingga melewati pemborosan. Misalnya, ragu2 dalam berwudhu, ragu akan kebersihan air yg digunakan, berpandangan air yang digunakan sudah bercampur dgn air yg tidak suci, banyak najis atau hadas, dan lainnya.

Mereka memperberat urusan dalam hal ibadah. Tetapi, meringankan dalam hal yg haram. Misalnya, menggunakan barang yg jelas keharamannya, tapi enggan meninggalkannya.

Begitu juga dalam hal membaca Alquran. Ia merasa dirinyalah yg paling benar, yg paling fasih. Sementara, bacaan orang lain salah. Bahkan, karena persoalan dialek, ia menyalahkan bacaan orang lain. Karena, persoalan dialek itu dipandang dapat mengubah makna.

Adapun mereka yg tertipu dalam kelompok ini, kata al-Ghazali, adalah mereka yg merasa dirinya paling hebat dalam beribadah. Misalnya, karena seringnya melaksanakan sujud sehingga muncul di dahinya tanda2 bekas sujud. Lalu dengan itu, dia merasa akan mendapatkan surga di akhirat nanti.

Dari beberapa kelompok ahli ibadah yg tertipu, antara lain, karena merasa suaranya sangat merdu (bagus), lidahnya yg fasih, karena puasanya, karena hajinya, karena azannya, karena penunjukkan dirinya menjadi imam (pemimpin), merasa zuhud dgn hartanya, dan karena ibadah sunahnya. Dan, ada pula yg tidak sadar kalau mereka tertipu karena merasa dirinya sudah cukup menjadi bagian dari orang banyak.

WALLAHU A'LAM

"Ngabdio marang ilmu, mengko hasil sekabehane"

KH AKHYAT CHALIMI MANTAP SETELAH "BERTEMU" MBAH HASYIM

Dalam buku kecil yg menulis riwayat KH. Akhyat Halimi Mojokerto, diceritakan: disaat beliau sedang mengalami kegundahan dalam usaha dagangnya yg tidak maju2. Akhirnya beliau memutuskan untuk melakukan riyadlah ziarah Wali Sanga. Kiai Pejuang itupun lalu berjalan kaki dari Mojokerto menuju Surabaya, Gresik, Tuban, hingga Cirebon.

Pada waktu beliau berada di makam Sunan Gunung Jati, beliau bermimpi bertemu dengan gurunya, Mbah Kyai Hasyim Asy'ari.

Mbah Hasyim Asy'ari berpesan kepada Kyai Halimi "Ngabdio marang ilmu, mengko hasil sekabehane",  Artinya "MENGABDILAH KEPADA ILMU, NANTI SEMUANYA AKAN BERHASIL".

Seketika itu pula, KH Akhyat Halimi bergegas pulang dan memantapkan diri untuk membangun pesantren. Berkat ketekunan beliau, pesantrennya menjadi besar.

@fordisaf_tbi

"Jangan lupa doakan secara istiqomah guru-guru kita.."